Rabu, 21 Januari 2015

Nilai seorang anak dan Kebahagiaan seorang ibu

Nilai seorang Anak dan Kebahagiaan seorang Ibu
 
Seluruh individu menjadi pribadi yang sekarang ini tidak dapat dipungkiri sudah pasti ada andil seorang ibu. Semua anak adalah maha karya seorang ibu, dimulai sejak membesarkannya di dalam kandungan, perjuangannya dalam melahirkan, mengajaknya bicara seperti orang gila pada saat bayi kecilnya hanya bisa menggeliat-geliat dan memandangi dirinya tanpa suara, kesabarannya yang tak berbatas pada saat anaknya acapkali tidak sepakat dengan nasehat-nasehatnya, serta doa-doanya yang tidak pernah lepas dari bibir dan juga hatinya.
 
Entah apa yang ada di benak Ibuku pada saat membesarkanku, semakin diriku dewasa rasanya aku justru semakin lupa untuk menanyakan kepadanya, apa yang membuatnya bahagia. Aku hanya mencoba menjadi anak yang berbakti dan orang yang sukses menurut pandangan orang-orang atau buku-buku yang aku baca, supaya dapat membuatnya bangga dan tentu saja bahagia. Tapi apakah apa yang aku perbuat sudah benar-benar membuat beliau bahagia? Saat ini aku bersama pekerjaanku sebagai karyawan, acapkali dihadapkan pada keadaan dimana aku harus memberikan penilaian pada seseorang atau suatu hal. Terbersit keinginanku untuk menanyakan kepadanya, seandainya Ibu memberikan nilai untukku sebagai seorang anak, dalam skala 1 sampai 100, berapa nilaiku, dan kenapa dia memberiku nilai tersebut.
 
Menurut Ibuku, nilainya adalah 95. Not bad. Karena menurut beliau hampir semua yang beliau ajarkan kepadaku bisa dimengerti dan dikerjakan. Ternyata beliau sangat puas dengan nilai-nilai pelajaran formalku. Yaaa… mungkin ada baiknya lain waktu aku  tanyakan nilai softskill-ku ya. Beliau merasa sangat bersyukur dapat membimbingku selama ini.
 
Demikianlah, dengan banyak kata ataupun hanya dengan sikap dan kesabarannya dalam bertahan hidup, seorang Ibu sudah pasti berperan sebagai ‘guru’ bagi anak-anaknya. Besar dengan didikannya, sampai dengan setua ini pun diriku dengan suami dan dua gadis kecil kami, aku masih sering berselisih faham dengan ibuku. Kadang aku berfikir kenapa sudah setua ini masih harus berdebat, perlukah? Tapi sepertinya aku lebih sering tidak peduli dan memilih mempertahankan pendapatku tanpa memperhatikan perasaan Ibuku. Aku menanyakan kepada dirinya, pada saat kami berselisih faham, apakah beliau merasa gagal sebagai seorang ibu?
 
Menurut Ibuku, tidak sama sekali. Tidak ada rasa gagal pada saat diriku berselisih faham dengan dirinya, karena beliau yakin bahwa suatu saat seorang anak pasti dapat memahami apa yang diharapkan oleh Ibunya, walaupun terkadang memilih cara yang berbeda untuk memenuhi harapan tersebut.
 
Meskipun Ibu tidak pernah merasa gagal, namun aku tahu pasti suatu saat beliau pasti pernah kecewa. Sebagai seorang ibu, meskipun masih newbie dengan usia anak-anakku yang masih di bawah 10 tahun, aku mulai memahami bahwa sebagai seorang ibu tidak selamanya kita bahagia, pasti ada susah dan senangnya dalam membesarkan seorang anak. Akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan juga kepada ibuku, bila kebahagiaan sebagai seorang ibu dalam skala 1 sampai 100, berapa nilai kebahagiaan ibu, apa yang harus aku perbuat supaya Ibu lebih bahagia?
 
Menurut Ibuku, nilainya lagi-lagi 95. Yaaa… bisa jadi karena kita semua menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah, jadi tidak ada nilai yang sempurna untuk ciptaan-Nya. Yang membuatku terkejut, kenapa nilainya sedemikian tinggi, ternyata karena beliau lebih banyak mengingat bagian ‘senang-senang’nya saja. Mungkin ini adalah bukti nyata dari gambar mural yang seling kita jumpai di belakang truk di jalanan, ‘kasih ibu sepanjang jalan’. Walaupun jalannya terjal, banyak tanjakan dan tikungan di sana-sini, Ibu akan selalu mengasihi anaknya, karena mungkin yang beliau ingat hanyalah pemandangan yang indah di sepanjang jalan.
 
Demikianlah seorang Ibu, selalu bahagia bila mengingat anaknya. Jawaban-jawaban Ibuku membuat aku sangat bersyukur memiliki seorang Ibu seperti beliau. Meskipun aku tahu nilaiku tidak akan pernah mencapai 100, tetapi sebagai rasa terima kasih dan baktiku, aku berjanji pada diriku untuk membuatnya lebih bahagia, seperti kata beliau, dengan cara membuatnya selalu merasa dibutuhkan, meskipun hanya dengan hal-hal kecil seperti berbagi cerita, suka dan duka yang aku alami sehari-hari. Yaaa… terkadang memang berbagai kesibukanku membuatku lupa menyapanya, mengacuhkan telepon darinya, sekarang aku semakin sadar bahwa sudah waktunya aku berubah. Selain itu tentunya aku ingin lebih mengkhusyukkan diri dalam setiap doa-doaku untuknya. Bagiku seorang Ibu adalah anugerah dari Allah yang paling mulia. Setinggi apapun harapan seorang Ibu, sudah pasti diiringi dengan doa-doanya. Jangan pernah kita menyalahkan seorang Ibu karena harapannya terhadap anaknya yang kadang menurut kita terlalu tinggi, namun berterima kasihlah, karena tanpa doa dan keikhlasan seorang Ibu, tidak akan tercipta kebahagiaan dan kemuliaan seorang anak.
 
"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com”

Artikel lainnya :