Selasa, 27 Oktober 2015

Book review month-9 : Menjadi Haji Tanpa Berhaji, by Agus Mustofa

Menjadi haji tanpa berhaji

Kali ini membaca salah satu materi tasawuf modern dari Agus Mustofa, salah satu penulis yang banyak pro dan kontra.

Tertarik dengan buku ini karena belum menemukan buku lain yang menelaah tentang ibadah haji dalam bentuk cerita, dan dalam bahasa yang santai.

Dari judul bukunya saya pikir tadinya hanya akan mengingatkan tentang memaknai ibadah haji dengan benar, tetapi selain itu ternyata juga mengajak orang-orang yang belum dimampukan berhaji untuk memahami makna haji sehingga meskipun belum berangkat haji tapi faham makna, tujuan dari setiap ritualnya dan terinspirasi untuk berusaha menjadi seperti yang diharapkan pada umat islam yang sudah berhaji.

Banyak yang menarik meskipun kadang istilah yang digunakan mungkin kurang pas atau kurang sopan. Di bagian awal buku ini diingatkan supaya dalam berhaji memiliki niat yang benar, bukan tujuan duniawi semata. Diingatkan juga bahwa dalam setiap ritual ibadah haji hendaknya mengacu pada rukun ritualnya. Misalnya dikisahkan tentang seorang jamaah yang lupa doa towaf, dan ditelaah apakah doa towaf itu sesuatu yang sifatnya wajib dihafal? Atau sebenarnya inti towaf adalah dzikir?

Buku ini juga mengajak kita merenungkan lagi apakah tepat dengan adanya berbagai kemudahan yang terus berkembang pada ritual haji di masa kini, misalnya padang arafah dengan tenda ber AC, jamuan yang enak, jalanan yang semakin nyaman, dll, karena pafa hakikatnya haji adalah napak tilas segala peristiwa yang dialami nabi ibrahim as, supaya umat islam meneladaninya.

Dipaparkan bahwa wuquf di arafah dimaksudkan untuk perenungan diri untuk menentukan tujuan hidup, melempar jumrah adalah simbolisasi melawan setan dengan menyebut nama Allah, towaf mengumpamakan kehidupan manusia yang berbaur dengan berbagai karakter, sai adalah perjuangan yang tiada henti untuk mencapai tujuan. Salah satu ritual idul adha yaitu qurban mengajarkan umat untuk berserah diri dan senantiasa menjalankan perintah Allah meskipun kita tidak tau tujuannya.

Disimpulkan pada buku ini bahwa inti dari tujuan ibadah haji adalah berserah diri kepada Allah swt, selalu mengingat Allah pada segala keadaan. Lebih tinggi tingkatannya dari ibadah puasa ramadhan yang bertujuan supaya manusia bertaqwa, karena bekal untuk berserah diri adalah taqwa.

Senin, 05 Oktober 2015

Book review, month 8 : Aisyah

Aisyah
Karya : Sibel Eraslan

Aisyah adalah putri salah satu sahabat nabi, yaitu Abu Bakar. Menikah dengan Rasulullah pada usia 18thn, dan Rasulullah saat itu berusia 52thn. Acara pernikahannya dilakukan setahun dari pertunangannya. Pernikahan dilakukan di madinah, setelah hijrahnya Rasulullah. Aisyah adalah wanita yang hadir pada mimpi Rasulullah, yang berarti pernikahannya dengan Aisyah adalah perintah Allah.

Aisyah adalah satu-satunya wanita bukan janda yang dinikahi oleh Rasulullah
Pada percakapannya dengan Aisyah menggambarkan bahwa dalam memilih istri, Rasulullah lebih memilih yang masih perawan.

Di balik kecerdasannya sehingga banyak mencatat ilmu dari Rasulullah, Aisyah juga menggambarkan seorang perempuan biasa yang acapkali tergoda oleh gemerlap dunia, perhiasan untuk mempercantik diri di depan suaminya. Pada beberapa cerita dikisahkan Rasulullah selalu menasehatinya untuk menjaga diri dari godaan duniawi dan memilih perintah Allah dan Rasulullah.

Kisah tentang perhiasan salah satunya adalah pada saat sedang di perjalanan, kalung perak Aisyah terlepas dan hilang. Rasulullah meminta pasukan berhenti untuk mencari perhiasan itu, Aisyah pun sangat menyesal telah merepotkan. Dia sadar kalau memang perintah Allah menjauhi perhiasan adalah benar adanya. Pada saat itu pasukan mencari di suatu lembah pasir sampai kehabisan air dan tidak bisa berwudu. Saat itulah turun wahyu QS Al Maidah : 6, tentang bertayamum.

Aisyah adalah dengan wanita mana Rasulullah memperoleh wahyu ketika sedang di bawah selimut dengannya.

Aisyah adalah dimana Rasulullah wafat. Khotbah wada juga dikisahkan pada novel ini.

Di buku inipun diceritakan kehidupan Rasulullah bersama istri-istrinya. Dikisahkan Aisyah yang seringkali cemburu setiap kali Rasulullah menyebut Khadijah, istri yang paling dimuliakan; Selain itu istri yang lain adalah janda-janda yaitu Saudah, Hafsah putri Umar, Zainab, Ummu Salamah yang paling unggul pada hadis dan fiqih di antara istri yang lain, Ummu Habibah, Maimunah, Shafiyah. Dikisahkan juga Rasulullah yang selalu meminta Fatimah agar mencintai Aisyah, karena Fatimah juga mencintai apa yang dicintai Ayahandanya.

Pada akhir buku dikisahkan kehidupan pata ahli bait setelah Rasulullah meninggal dunia.

Artikel lainnya :